Thursday, March 29, 2007

PENGEMBANGAN KOMUNITAS DI DESA PESISIR ACEH PASCA TSUNAMI

Perencanaan di Indonesia saat ini sedang mengalami dinamisasi dalam hal proses pelibatan masyarakat. Selama hampir tiga dekade, pemerintah menggunakan sistem sentralisasi dengan ciri perencanaan yang dikendalikan oleh pemerintahan negara (pusat). Setelah era reformasi bergulir pada 1998, pemerintah daerah sekarang telah memiliki otonomi dalam menyelenggarakan pembangunan. Pemerintahan yang berbasiskan syariat Islam pun mendapat tempatnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Adanya bencana tsunami pada Desember 2004 telah meluluhlantakkan sistem kehidupan negeri Serambi Mekkah itu. Perekonomian Banda Aceh mati, kota-kota dan desa-desa di sepanjang pesisir pantai barat dan timur seakan-akan lenyap dihapus gelombang air. Sistem pemerintahan desa-desa pesisir banyak yang rusak dan kehidupan masyarakat menjadi tak terurus. Bantuan dari dalam dan luar negeri kemudian berdatangan. Salah satu program yang diluncurkan BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias) adalah perbaikan sistem kelembagaan desa. Instansi yang mengeksekusinya adalah NGO atau lembaga donor dari luar negeri (PCI Indonesia, GenAssist, AIPRD, dll).

Program tersebut merupakan salah satu bentuk pengembangan komunitas yang dijalankan untuk mencoba membangun kembali desa-desa yang hancur secara fisik maupun mental. Menurut catatan kuliah PL3201 Pengembangan Komunitas, pengembangan komunitas adalah keterlibatan masyarakat dalam isu yang mempengaruhi kehidupannya, termasuk didalamnya metode bagi individu untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan motivasi, mengidentifikasi gangguan bersama dan menyelesaikannya secara bersama (www.bathnes.gov.uk). Peran NGO sebagai pelaku eksternal yang terlibat dalam pengembangan masyarakat adalah berupaya untuk menyatukan berbagai perbedaan yang ada dalam suatu komunitas. Karena sebuah komunitas pada umumnya terbentuk dari bagian-bagian yang terintegrasi dan kelompok keinginan yang tertutup pada hubungan kompetitif (Smith 1989).

Dalam hal ini, program perbaikan sistem kelembagaan desa dilakukan untuk membantu masyarakat agar membentuk kembali pemerintahannya, seperti menunjuk Geuchik ( Bahasa Aceh: kepala desa–red. ) baru bila yang sebelumnya meninggal, dan membentuk perangkat desa lainnya. Secara teknis, NGO akan mendampingi warga melalui seorang Fasilitator Desa (FD) yang memberikan arahan dan wawasan kelembagaan desa kepada warga. Selain itu juga bertujuan untuk mempersiapkan perangkat tersebut agar dapat berfungsi sebagai sumber komunikasi warga desa kepada orang luar. Mengingat tahun 2006 ini akan banyak terjadi pembangunan pada skala desa yang dilakukan oleh lembaga donor maupun BRR. Pencapaian yang diharapkan dari perangkat desa ini adalah dapat menjadi perwakilan warga yang mengajak dan mengkomunikasikan aspirasi warga terhadap pihak luar.

Satu hal penting yang menjadi saran dalam proses pengembangan komunitas ini ialah harus ditanamkan betul kemandirian perangkat desa yang dapat mendampingi warga untuk memantau kinerja pembangunan yang akan terjadi di desa mereka. Contohnya pada peristiwa yang terjadi di Desa Pasie, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, pada bulan Juli 2006 lalu, sebuah NGO mendapatkan kontrak pembangunan jalan propinsi dengan rute Banda Aceh-Meulaboh, tetapi dalam rencana cetak birunya, jalur yang dilewati akan mengambil lahan kosong yang direncanakan akan dibangun perumahan. Dalam kasus ini, Geuchik dan perangkatnya harus bisa menginformasi-kannya kepada warga dan berfungsi sebagai pembela warga untuk menghindari pembangunan jalan tersebut agar tidak melewati lahan perumahan. Atau bisa juga dengan mempertimbangkan untuk memindahkan peletakan rencana rumah ke lahan lain yang tidak dilewati oleh jalur jalan tersebut. Setelah permasalahan itu selesai, Geuchik harus selalu mengontrol NGO tersebut pada semua tahap sampai jalan selesai dibangun dan tidak berdampak pada pembangunan rumah. Karena pendampingan oleh FD tidak lama, hanya sekitar 4 bulan saja, maka perangkat desa bersama warga harus mampu mengawasi pelaksanaan program-program pembangunan yang akan dilaksanakan di Desa Pasie.

Peristiwa yang terjadi di desa-desa pesisir Aceh ini dapat dijadikan contoh bagi propinsi lain dalam hal melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan melalui pengembangan komunitasnya. Sebagai bagian yang tak terlepaskan dalam perencanaan yang berasal dari masyarakat (bottom-up), pendidikan kemandirian bagi perangkat kelembagaan desa diharapkan dapat meminimalisasi konflik yang terjadi akibat keputusan perencanaan yang seringkali sepihak oleh pemerintah daerah. Jika setiap daerah berlomba untuk menjadi yang terbaik, keputusan pembangunan yang mengefektifkan pencerdasan masyarakat melalui pemerintah desa dapat menjadi angin segar bagi wajah baru perencanaan di Indonesia.

No comments: